Judul novel ini, adalah Penakluk Badai. Awalnya aku tak mengerti… penakluk badai dan seorang kiai apa hubungannya? Tapi lebih baik dibaca saja.
Penulis buku ini ialah Aguk Irawan. Belum pernah aku mendengar nama penulis itu. Di sampul, tertulis bahwa ia adalah penulis buku best seller – seri haji backpacker. Dan Novel ini juga tertulis di sampulnya National Bestseller.
Aku mulai penasaran jadi aku membaca novel ini. Bagus atau tidak ya?
Novel ini, cetakan pertamanya terbit pada Maret 2012 dan cetakan kedua seperti yang ku punya pada April 2012. Lama juga ya… saat itu umurku masih 2 tahun.
Novel ini terdiri atas 530 halaman dan ukuran Novel ini 13,5 x 20,5 cm. Dan diterbitkan oleh Global Media Utama. Untuk yang ingin beli, harga buku ini Rp79.200 atau bisa dilihat di toko buku.
Kiai Hasyim Asy’ari, adalah cucu buyut dari Kiai Abdus Salam (Kiai Shaihah)
Cucu dari Kiai Usman yang merupakan murid dan menantu Kiai Shaihah
Dan anak dari Kiai Asy’ari yang merupakan murid dari Kiai Usman.
Saat kecil, Kiai Hasyim pindah ke daerah Keras mengikuti Ayahnya. Karena disanalah Ayahnya mendirikan Pesantren. Disana, beliau mudah mendapat teman karena pembawaannya yang ceria. Beliau suka mengingatkan kecurangan ketika bermain. Tak hanya itu, beliau juga suka melerai temannya yang bertengkar. Meski terkadang beliau terkena akibat berusaha melerai itu. Kiai Hasyim kecil, dikenal sebagai anak yang pemurah. Beliau sering memberikan mainan atau benda miliknya berupa baju atau sarung pada teman-temannya, tanpa sepengetahuan Ayahnya.
Ketika dewasa, Kiai Hasyim menikah dengan anak gurunya yang bernama Nyai Nafisah. Dari pernikahannya dengan Nyai Nafisah, lahirlah seorang anak bernama Abdullah. Tapi Abdullah meninggal pada saat bayi.
Setelah sekian lama menduda, beliau menikah lagi dengan Nyai Nafiqoh dan memiliki 10 anak yang bernama Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hafidz, Abdul Karim, Ubaidillah, Masruroh, dan M.Yusuf.
Kiai Hasyim, diperkirakan menikah lebih dari 7 kali, dan dari seluruh wanita yang dinikahinya, hanya 3 yang memberikan keturunan. Anak kandung maupun anak tiri.
Tebuireng merupakan dusun kecil di wilayah perdukuhan desa Cukir, kecamatan Diwek. Dimasa lampau, Tebuireng masih kawasan persawahan yang dikelilingi hutan tebu. Jadi wajarlah kalau tempat itu menjadi sarang maksiat.
Orang menyebut Desa Tebuireng sebagai tempat tanpa perikemanusiaan.
“Apa jadinya para santri kalau tempat belajarnya dekat dengan tempat kemaksiatan?” begitu kata Kiai Usman. Saat itu pertentangan dengan keluarga besarnya luar biasa. Bahkan Kakeknya, Kiai Usman juga tidak setuju. Untungnya Kiai Asy’ari menyetujuinya.
Dengan dibantu oleh 28 santrinya, beliau menyulap sebuah warung remang-remang menjadi sebuah pesantren yang dibuat menggunakan bambu.
Ketika Kiai Hasyim tahu kalau kebodohan adalah sumber kemaksiatan yang ada di Tebuireng, beliau segera membeli tanah untuk ditanami.
Setelah membeli tanah, kegiatan pesantren Kiai Hasyim tidak hanya didalam ruangan, tapi juga di kebun. Para santri diajarkan untuk bisa merawat tanaman di kebun. Tak hanya tanaman, Kiai Hasyim juga memiliki kolam gurame.
Beberapa orang pun mulai mengomentari hasil kebun Kiai Hasyim.
“Ini bayemnya kok bisa ijo royo royo gini?”
“Iya, Alhamdulillah” jawab santri Kiai.
Semakin lama, kebun Kiai semakin subur. Banyak warga yang mulai melirik kebun dan kolam gurame yang segar dan siap panen.
Kiai Hasyim memulaikan dakwahnya pada seorang yang terpandang di tebu ireng, ia adalah seorang pemabuk. Kemana mana pasti dia membawa minuman keras, ia bernama Marto Lemu.
Kiai Hasyim sering menyapanya ketika lewat, dan mengajaknya untuk mampir ke pesantrennya. Awalnya Marto Lemu tidak menghiraukan Kiai Hasyim. Suatu hari, Kiai Hasyim bertemu dengan Marto Lemu di pasar Diwek, ia mengajak Marto Lemu bekerja sama.
“Kang, kalau Kakang tidak keberatan, lusa bisakah datang ke tempat kami? Kamu kekurangan gerobak untuk mengangkut hasil panen. Sekiranya kamu bisa minta tolong pada Kang Marto supaya anak-anak tidak bolak-balik ”
“Beres Kiai!” Marto Kamu menyambut tawaran kerja sama itu.
Lusanya, Marto Lemu datang pagi-pagi buta ketika Kiai dan para santrinya sedang berdoa. Melihat Kiai belum keluar dari mushola dia berteriak-teriak dari pelayaran pesantren.
“Kiai, barangnya jadi diangkut tidak? Kok malah duduk-duduk santai disitu?”
Kiai segera menutup doanya dan menghampiri Marto Lemu.
Setelah Marto Lemu sudah bertaubat, semakin banyak warga Tebuireng yang ikut bertaubat karena Marto Lemu adalah orang yang dihormati.
Kiai Hasyim ikut menentang penjajah yang menjajah Indonesia pada masa itu.
Suatu hari, Kiai Hasyim didatangi dua utusan dari Jenderal Soedirman dan Bung Tomo, mereka menceritakan tentang kondisi di medan tempur. Setelah mendengar cerita dari kedua utusan itu, tiba-tiba….
“Masya Allah, Masya Allah, Masya Allah” tiba-tiba mata Kiai Hayim terpejam dan tubuhnya sedikit bergetar, tubuh rentanya jatuh menimpa cucunya yang duduk dipangkuannya.
Dokter Angka pun dipanggil untuk memeriksa kesehatan Kiai, dan Kiai diduga terkena serangan jantung. Para Santri dan keluarga mendoakan kesembuhannya, tapi Allah berkehendak lain…. pada sekitar jam 3 dini hari, ketika orang hendak melakukan sahur, Kiai Hasyim menghadap Allah, bertepatan pada tanggal 26 Juli 1947.
Innalillahi wainnailaihi raajiun….